Sabtu, 21 Juni 2008

Masa Lalu dan Bayang-Bayang

Masa lalu seperti sebuah bayang-bayang yang selalu menemani kemanapun kita pergi, ataupun melangkah. Bahkan, sekalipun hanya bergerak. Dia bisa membuat kita yakin dalam perjalanan namun bisa pula akan selalu menghantui kita jika kita menganggap bayang-bayang itu makhluk hitam, besar, nan mengerikan. Ia tidak bisa dihilangkan, tidak pula bisa dihapus meskipun hanya sebagian kecil, sepotong, atau secuil.



Masa lalu akan selalu bergeser seiring langkah kita. Ia melekat dan menempel kuat. Ia ada untuk mengiringi kita, mengambil kesimpulan, lalu menyelaraskannya dalam harmoni kehidupan kita sebagai manusia. Masa lalu bukan sebagai kenangan yang menyakitkan hingga kita selalu merasa sesak seperti terkurung oleh kotak Pandora yang membelit jiwa ataupun sebagai sebuah romantisme yang terlalu menyesatkan dan membuai hingga kita tidak lagi mampu melangkah ke depan. Menatap masa depan, hari-hari selanjutnya.



Ia bahkan membantu kita, berusaha mengingatkan kita sebagai hamba Allah yang fana dan penuh dosa agar berusaha selalu mengambil sisi positif dari apapun yang telah terjadi di masa lalu. Sebuah hikmah agar kita mampu terus belajar dari seluruh jejak langkah yang telah terukir dalam kehidupan kita. Apakah itu membekas penuh luka serta terlampau manis. Kita tak hendak terlampau memuja masa lalu sebab kita hidup di masa kini agar selalu berusaha lebih baik lagi menuju masa depan. Dan, masa lalu berfungsi sebagai landasan agar kita senantiasa menjadi hamba-Nya yang bersyukur dengan selalu mengingat-Nya serta memohon agar Dia menjaga kita dari jebakan masa lalu yang terlalu membelit.

Nasionalisme dan Rakyat Aceh

Sewaktu masih duduk di bangku SD, saya suka sekali mengikuti pelajaran kesenian. Bukan karena gurunya, melainkan karena ada kegiatan menyanyi bersama-sama. Seringkali saya sendirian disuruh maju di depan kelas untuk bernyanyi sendirian dan saya dengan pede-nya maju, lalu dengan lantang bernyanyi. Bermacam-macam lagu diajarkan waktu itu. Namun, kebanyakan tentang lagu perjuangan. Saya masih ingat benar – sebab buku catatan saya sewaktu SD juga masih tersimpan dalam kondisi bagus – lagu-lagu karangan Gesang seperti Jembatan Merah, Kusbini seperti Maju Tak Gentar, Ismail Marzuki untuk Rayuan Pulau Kelapa atau Titiek Puspa macam Pahlawan Merdeka selalu berkumandang di kelas sewaktu pelajaran ini. Dan, entah kenapa perasaan saya waktu itu benar-benar menggebu-gebu seolah-olah
Indonesia memang seindah lagu-lagu itu.





Ketika menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa, misalnya saya membayangkan berada pada suatu tempat nan permai, penuh dengan pohon kelapa yang dedaunannya bergoyang seirama semilirnya angin. Pantai pasir putihnya menambah keindahan pemandangan alam imajinatif saya ini. Plus, nuansa ombak biru yang tenang menampari bibir pantai berpadu dengan burung-burung camar yang terbang mencari mangsa. Ah, sungguh rasanya indah sekali kesan yang saya dapatkan. Padahal hingga kelas 6 SD, saya belum pernah bermain-main di pantai yang ada pasir putihnya. Namun, melalui lagu tersebut, kesan saya pada pantai benar-benar melekat dengan erat. Bahkan tanpa perlu mengunjunginya. Aneh bukan? Saya waktu itu pernah berkunjung ke Pantai Popoh, tapi sayang tidak berpasir, melainkan diberi benteng-benteng yang dibangun dari batu sehingga pengunjung tidak bisa bermain-main bebas dengan ombaknya. Alasannya, pantai terkena dampak abrasi yang cukup parah. Alasan yang lainnya, pantainya tidak cukup bagus kondisinya. Alasan terakhir, ombaknya cukup keras dan berbahaya.




Tapi dari semua lagu, saya cukup terkesan dengan lagu Dari Sabang Sampai Merauke yang bernuansa mars nan menghentak. Menyanyikannya bersama-sama, saya membayangkan daerah Sabang yang berada entah dimana – pokoknya di dekat Aceh – dan Merauke, saya ingat ini nama sebuah kotadi Irian Jaya [nama popular sewaktu SD dulu, jauh sebelum kenal dengan Papua]. Saya pikir, dulu Sabang merupakan nama sebuah daerah nun jauh di
sana[Tiba-tiba ingat lagu Nun Jauh Dimana yang bernada mendayu-dayu] dan berbeda dengan Aceh. Belakangan ketika membuka atlas, barulah saya tahu sejarahnya. Yup, Sabang sampai Merauke menceritakan bentangan alam negeri Indonesia mulai dari daerah yang paling barat hingga timur. Maaf, saya lupa bujur maupun lintangnya. Kalau waktu SD saya ingat sekali posisi koordinat batas-batas Indonesia dari empat mata angin, bahkan sempat menjadi pertanyaan sewaktu mengikuti Lomba Cerdas Cermat IPS/PPKn yang mengantarkan saya sebagai juara II untuk tingkat kabupaten.




Aha, lagu yang saya nyanyikan dengan bersemangat ini ternyata punya sejuta makna dan arti. Ternyata, kedua daerah yang letaknya berjauhan dengan jarak lebih dari tiga kali panjang Pulau Jawa [sekitar 1000 km] ini malah daerah yang rawan dengan konflik. Kesan permai yang saya dapatkan dengan lagu-lagu di atas, mendadak hilang seiring kedewasaan saya dalam menangkap segala kondisi dan situasi. Ternyata, pemicunya tidak main-main. Sebuah sejarah yang apabila dirunut akan menjadi panjang dan berlarut-larut. Sebuah faktor yang jelas sekali akan melibatkan banyak korban nyawa, harta, benda, dan politik serta kemanusiaan. Dengan pemantik yang berdampak sangat luas.




Ihwalnya, pada 1926, seorang wartawan Batavia bernama Adi Negoro menulis tentang pelbagai daerah, mulai dari Singapura, Colombo, Aden, Port Said, Marseille, dan Gibraltar, dalam sebuah buku bertajuk Melawat ke Barat. Dalam persinggahannya naik kapal Tambora – diambil dari nama Gunung di kepulauan Nusa Tenggara dan pernah meletus dengan sangat dahsyat melebihi Krakatau pada abad antara 17-18-an – ia mampir di daerah Sabang. Ia lalu membandingkan kondisi tempat itu dengan Singapura, salah satu kota pelabuhan yang saat ini menjadi paling modern dan paling besar di dunia. Menurutnya, Belanda telah menguasai Sabang sejak 1887. Sebuah perusahaan, Sabang Maatschappij, diberikan wewenang untuk mengelola pelabuhan bebas tersebut, sekaligus membangun dermaganya antara 1896 dan 1911. Pelabuhan itu dilengkapi dengan dok perbaikan kapal seberat 2.600 ton plus empat derek raksasa yang berfungsi untuk menaikkan batubara ke kapal yang berhenti di Sabang, dari Eropa, Cina, Jepang, Singapura, ataupun Batavia. Pada 1924, perusahaan ini membangun dok lagi, seberat 5.000 ton untuk meningkatkan kapasitas perbaikan kapal. Sayangnya, dalam buku tersebut tidak diungkapkan alasan pembangunan besar-besaran yang dilakukan Belanda sebenarnya hanyalah kedok yang dibuat agar rakyat Aceh menjadi jinak dan patuh. Pendudukan Belanda terjadi antara 1876 dan 1904. Saat ini, kondisi Sabang benar-benar memprihatinkan, jika dahulu total panjang dermaga 2.700 meter, sekarang hanya tinggal 572 meter saja.




Penguasaan Belanda atas Aceh sebenarnya dipicu sejak lama, ketika pecah Traktat London, sebuah perjanjian yang ditanda tangani Kerajaan Inggris dan Belanda pada 1824. Perjanjian itu menyepakati : Semenanjung Malaya untuk Inggris dan Pulau Sumatera untuk Belanda. Namun kemudian, problema perdagangan di Sumatera jadi bahan debat sebab Inggris curiga kepada Belanda yang menghalangi perdagangannya ke wilayah itu. Kebetulan, waktu itu Aceh menguasai pasaran rempah-rempah. Karena Belanda kuatir diplomasi Aceh terhadap negara barat semakin gencar, perjanjian baru Inggris-Belanda diluncurkan pada 1871 yang intinya memberikan kekuasaan lebih banyak bagi Belanda dalam menguasai Aceh. Selanjutnya, Belanda menyerbu Kesultanan Aceh dan menguasai negeri itu dengan cepat, namun rakyat Aceh sudah siap dengan model gerilya yang merepotkan Belanda. Karena itulah, ditugaskanlah seorang professor kajian Islam di Universitas Leiden, Snouck Hurgronje, untuk meneliti kondisi Aceh yang sebenarnya. [Saya telah baca sebagian biografi professor ini dalam majalah Intisari plus foto dirinya bersama beberapa rakyat Aceh]. Professor ini menghasilkan ulasan mengenai Aceh berikut strategi yang digunakan untuk melawan mereka. Sayang sekali, meskipun J. B. Van Heutsz, gubernur militer di Aceh, sudah melancarkan beberapa strategi, tetap saja kondisinya menyulitkan. Baru, setelah Tuanku Muhamat Dawot menyerahkan Aceh pada Belanda pada 1903, Van Heutsz bisa menaklukkan Aceh setahun sesudahnya, 1904.


Seusai Perang Dunia II, Belanda yang menyerah pada Jepang, menyerahkan wilayah ini sepenuhnya kepada Republik Indonesia – disambut sengit rakyat Aceh yang menganggap penyerahan ini tak berdasar. Bagaimana mungkin orang yang tak punya hak menyerahkan wilayahnya pada orang lain yang juga tak punya hak? Maka, Daud Beureuh yang terkenal dengan pemberontakannya – sebelumnya ia sangat mendukung RI, bahkan turut menggerakkan rakyat Aceh untuk menyumbang RI dua buah pesawat dengan balasan otonomi – pada 1953. Ketika tahun 1961 Aceh diberi sebutan istimewa alias otonomi khusus, Beureuh menghentikan perlawanannya.


Namun, bibit-bibit separatisme sudah telanjur meluas. Hasan Tiro, cucu Teuku Cik Ditiro – pahlawan nasional Indonesia, tidak puas dengan kondisi ini. Dari dirinyalah, ia menggerakkan organisasi dalam bentuk perlawanan bawah tanah terhadap RI, melalui medianya, GAM [Gerakan Aceh Merdeka] kepada rakyat Aceh. Ia juga memperkenalkan konsep baru dalam memandang sebuah bangsa, ‘bangsa Aceh’ yang terdengar aneh di telinga dan diversuskan dengan ‘bangsa Indonesia’. Hasan Tiro kemudian memproklamirkan kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976. Bahkan pada 1979, ia sudah berhasil membentuk sebuah organisasi kebangsaan Aceh, mendirikan pemerintahan bayangan, dan menunjuk pejabat-pejabat di cukup banyak daerah Aceh. Kondisi Aceh yang semakin panas, memaksa diberlakukannya darurat militer oleh presiden Soeharto – sebuah kebijakan yang cukup popular seiring meningkatnya isu kebangsaan di tanah air.


Tentara nasional diterjunkan di daerah tersebut agar mampu memberangus gerakan separatis itu. Operasi yang meliputi pengintaian, kegiatan mata-mata, pos pemeriksaan, jam malam, penggeledahan rumah, dan penangkapan secara besar-besaran ini sudah menewaskan banyak orang Aceh hingga mencapai 10.000 orang. Rumah-rumah Aceh dibakar, para wanita dijadikan sandera atau dilecehkan secara seksual. Antara 1989 hingga 1990, organisasi hak asasi manusia melaporkan banyak sekali terjadi kondisi ini.


Dosen UGM, Ibrahim Alfian, mengatakan Aceh merupakan bagian sah dari bangsa
Indonesia. Dikatakannya, “Berdasar Maklumat Ulama Seluruh Aceh tertanggal 15 Oktober 1945, wilayah Aceh sejak itu telah dinyatakan ke dalam negara kesatuan Republik
Indonesia. Kalau sekarang ada yang ingin merdeka dan mencoba memisahkan diri, seperti yang dia lakukan, mereka jelas tidak tahu sejarah. Menurut masyarakt Aceh, mereka yang mengabaikan serua para ulama diberi istilah pengkhianat, tidak bisa lain.” Pernyataan ini dimuat pada harian Kompas. Ia juga mempertanyakan integritas Hasan Tiro, yang menurutnya kurang bisa dipercaya sosok yang menikah dengan perempuan asing. Perlu diketahui, Hasan Tiro memiliki istri asing ketika ia lulus kuliah dari Columbia Universitydan sempat tinggal di
New York. Selanjutnya, berencana bergabung dengan Exxon Mobil, perusahaan Amerika yang mengelola gas alam Aceh, namun malas berunding dengan Jakarta sehingga ia membangun organisasinya sendiri yang ternyata berkembang menjadi gerakan pemberontakan, GAM. {Artikel di atas diringkas dari artikel berjudul Republik Indonesia Kilometer Nol, karya Andreas Harsono, dimuat di majalah Pantau edisi Desember 2003].


Jika saat ini ditanya tentang nasionalisme, mungkin sekali rakyat Aceh masih akan meraba-raba makna maupun artinya dalam kehidupan mereka. Seusai Referendum yang dilakukan waktu pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, sisa-sisa separatis masih tampak, walaupun belum semenonjol dahulu. Sesungguhnya, orang Aceh tidak membutuhkan janji muluk-muluk apalagi hingga merepresi, namun yang diperlukan adalah seperangkat hukum, yang tidak memberikan kekebalan, yang bisa mengadili tentara, pejabat, koruptor, atas berbagai kejahatan atau pelanggaran hak asasi yang mereka lakukan – sesuai dengan ajaran Al Quran yang sangat menekankan keadilan. Pemberian system hukum syariah yang tanpa makna seolah-olah menafikan keberadaan sesungguhnya yang diderita rakyat Aceh. Seperti pemberian permen pada anak kecil yang sebenarnya menginginkan segelas susu. Permen hanya akan memberikan sensasi sekilas yang cukup menyenangkan sesudah itu mereka akan sakit gigi. Beda halnya dengan susu yang memberikan efek menyehatkan terhadap perkembangan dan pertumbuhan badan anak kecil.


Ah, aku kuatir apabila lagu Sabang sampai Merauke itu hanyalah sebuah lagu yang tanpa makna maupun arti. Hanyalah sebuah lagu yang jika dinyanyikan sebatas formalitas belaka yang kehilangan greget, apalagi esensinya. Bagaimana generasi penerus bangsa akan bisa belajar mencintai bangsanya sendiri jika lagu tentang kecintaan tidak dinyanyikan sepenuh hati, bahkan tidak mencerminkan kondisi yang tengah terjadi. Biarlah, nasionalisme dan rakyat Aceh akan menemukan maknanya sendiri melalui pencarian jati diri, bentuk, dan kontemplasinya dalam tanah air.